Refleksi Tahun Baru 2009 M

Tahun Baru 2009 : Bagaimana Menyikapinya?

Tahun 2008 akan segera berakhir dan akan segera digantikan dengan tahun 2009. Nuansa kedatangannya begitu terasa dan sepertinya disambut dengan begitu suka cita. Betapa tidak, hampir seluruh stasiun televisi swasta begitu antusias mengiklankan acara-acara penyambutan tahun baru dengan berbagai macam acara hiburan yang dikemas semenarik mungkin, mereka seolah ingin merampas seluruh perhatian pemirsa untuk dapat menyaksikan tayangan program acara mereka yang hanya satu tahun sekali itu. Begitu pula berbagai tempat wisata dan hotel-hotel bersiap diri menyambut kedatangannya dengan berbagai promosi yang memikat. Bahkan ada paket wisata yang menawarkan pengunjung untuk dapat menyaksikan perpisahan terakhir sinar matahari di tahun 2008 dan kehadiran sinarnya yang pertama di tahun 2009. Itu saja belum cukup, seperti pada setiap kedatangannya, para penjual terompet musiman sudah mulai mempersiapkan dan memajang dagangannya dengan berbagai macam ukuran dan warna. Pokoknya, suasananya begitu kental dan special melebihi kentalnya kecap special.

Di antara kita mungkin ada yang kadang bertanya, sebegitu pentingkah tahun baru (masehi) untuk disambut melebihi sambutan ketika Ramadhan tiba? Ada apa di balik sosok tahun baru (masehi) yang seolah kedatangannya membawa keberkahan dan penuh keberuntungan seperti ramadhan dan bulan-bulan yang dimuliakan Allah yang sudah jelas dijanjikan ? Seberapa istimewakah tahun baru (masehi) sehingga kita rela bergadang dan setia menanti kedatangannya meski harus kurang tidur seolah malam itu lebih dinantikan daripada kedatangan malam Lailatul Qodr yang keutamaanya lebih baik dari seribu bulan?

Entahlah, kita dapat bertanya langsung dan meminta jawabannya kepada saudara-saudara kita yang kelihatan selalu bangga dapat mengikuti detik-detik pergantian tahun baru (masehi) itu. Bahkan yang membuat kita miris adalah ketika mereka semakin merasa bangga tatkala dapat bertahun baru (masehi) dengan wanita teman dekatnya, berkendara bersama dan tertawa riang seolah pergantian tahun adalah malam mereka berdua. Tanpa memperdulikan dinginnya malam dan hiruk pikuk suasana, mereka seolah tak ingin melewati walau sedetikpun angka 00:00 di tahun 2009. Pasangan muda-mudi ini justru semakin asyik tenggelam dalam suasana, mumpung tidak ada yang mengawasi dan semua berbaur dalam suka cita, katanya. Kalau sudah begitu, sudah dapat dibayangkan apa hasil dari sebuah penyambutan tahun baru (masehi) malam itu. Sementara detik jam berjalan malam itu, sadar atau tidak, argo dosa atau kemaksiatan mereka pun turut berjalan. Semakin malam, sang syaithan turut membantu agar perputaran argonya semakin kencang.

Sementara dalam Islam, momentum tahun baru adalah saat di mana kita merenungi umur dan perjalanan hidup kita. Tahun baru adalah saat dimana kita mengintrospeksi diri sudah sejauh mana umur kita pergunakan. Sudah seberapa banyakkah pundi-pundi amal (kebaikan) telah mampu kumpulkan?, atau malah kita tanpa sadar lebih banyak mengoleksi amal buruk di daftar buku harian kita? Apalagi ketika tahun baru tiba yang ditandai dengan bertambahnya digit tahun, sebetulnya kita diingatkan bahwa umur kita semakin pendek. Artinya, saat tahun baru datang sebenarnya kita sedang menghitung mundur saat kematian (ajal) kita. Jadi, saat kita bersuka cita dan berhura-hura disaat itu pula kita akan semakin dekat dengan datangnya duka cita dan penyesalan.serta kesakitan akibat sakaratul maut.

Islam jauh-jauh hari sudah memperkenalkan kepada kita tentang hakekat waktu dan bagaimana memanfaatkannya, seperti yang termaktub dalam Q.S. Al-Ashr ayat 1-3, yang menjelaskan bahwa hanya ada dua golongan manusia berkaitan dengan pemanfaatan waktu ini. Pertama golongan orang yang beruntung, yaitu orang yang senantiasa mengisi hari-harinya dengan perbuatan baik (amal sholih) dan orang-orang yang senantiasa saling mengingatkan kepada saudaranya kan tentang kebenaran dan keshabaran. Sedangkan kedua adalah golongan orang yang merugi, yaitu orang-orang yang tidak dapat memanfaatkan waktu seperti pada golongan pertama. Ini dapat kita jadikan acuan untuk dapat memanfaatkan waktu dengan maksimal, setidaknya dapat mengetahui tipe dua golongan ini.

Dengan demikian, salah satu impelementasinya berkaitan dengan datangnya tahun baru (masehi) ini, hendaknya lebih tepat lagi jika tahun baru kita hadapai dengan muhasabah (menghitung-hitung diri). Ini jauh lebih bermanfaat. Selain kegiatan muhasabah tidak memerlukan ongkos-karena cukup dikerjakan dalam kesendirian dan cukup dilakukan di dalam rumah- juga dapat lebih banyak memberikan pencerahan diri, dengan semakin memahami makna dari perjalanan waktu dan pemanfaatnya. Sehingga dengan begitu, kita dapat betul-betul dapat menikmati subsidi umur yang diberikan kepada kita untuk kemudian kita sinkronkan dengan perjalanan waktu yang ada melalui program-program pengayaan amal kebajikan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Sehingga pada kesimpulan akhir bahwa tahun baru adalah bukan hari pesta pora yang senantiasa disambut dengan kegiatan yang justru melupakan diri kita dari ketaatan dan cenderung menambah koleksi kemaksiatan kita kepada Allah SWT. Tetapi akan lebih bijak dan lebih berorientasi kepada maslahat jika tahun baru (masehi) disambut sekedarnya saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyikapi Valentine Day

GETARAN, GELOMBANG, DAN BUNYI

MANFAAT LAIN DARI HANDPHONE (HP) / PONSEL